Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029, Prabowo-Gibran memasukkan swasembada pangan sebagai program prioritas dalam visi Asta Cita. Swasembada pangan Indonesia ditargetkan tercapai pada 2028.
Target swasembada pangan mengandalkan program prioritas lumbung pangan Food Estate. Pada program ini, ditargetkan pengembangan sawah seluas 250 ribu hektar dan kawasan padi seluas 485 ribu hektar.
Anggaran ketahanan pangan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2025 mencapai Rp 124 triliun. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan pemerintah akan menjalankan program tersebut dengan menggelontorkan Rp 139,4 triliun untuk 2025.
Baca juga: Indonesia Raih Penghargaan Tak Impor Beras saat Pandemi, Ini Kata Rektor IPBBaca juga: William Nathan Atmadja, Siswa JIS Teliti Kacang Koro Benguk Jadi Solusi Pangan Diabetes-MalnutrisiZulhas menjelaskan anggaran tersebut bersumber dari kementerian/lembaga terkait, mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
"Anggaran cukup besar di ketahanan pangan itu, tahun 2025 itu ada Rp 139,4 triliun totalnya, tapi tersebar. Ada melalui kementerian/lembaga yang terkait ketahanan pangan," kata Zulhas dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Rabu (30/10/2024), dikutip dari detikFinance.
Ia menambahkan, sumber anggaran swasembada pangan juga berasal dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk bibit, BUMN terkait pangan seperti PT Pupuk Indonesia untuk pupuk, dan Dana Desa.
"Pupuk, ada Rp 44 triliun pupuk, tentu di BUMN pupuk, tempatnya di BUMN gitu. Ada juga kalau bibit penelitian di BRIN, penelitian, tersebar di situ. Ada juga melalui dana desa, dana desa itu ada tahun depan Rp 16 triliun," katanya merinci.
Zulhas mengatakan, produksi komoditas yang digenjot yaitu gula, kedelai, coklat, jagung, cabai, dan bawang, di samping beras.
Tantangan Swasembada Pangan Prabowo-GibranGuru Besar bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Subejo SP MP PhD mengatakan proses mencapai target swasembada pangan butuh kebijakan yang tepat untuk mendukung program. Sebab, sektor pertanian yang merupakan penopang ketahanan pangan saat ini justru menghadapi banyak tantangan.
"Target itu tentu tidak mudah dengan segala tantangan yang ada sekarang ini," kata Subejo, dikutip dari laman UGM, Kamis (31/10/2024).
Masalah Alih Fungsi LahanTantangan pertama menurut Subejo adalah masifnya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Padahal, kebutuhan cetak lahan sawah diprediksi terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan padi.
Masalah konversi lahan menurut Subejo mengancam upaya peningkatan produksi padi sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, khususnya di tengah masalah perubahan iklim.
Masalah Kebijakan yang Bisa DikelolaSubejo menilai pemerintah harus punya kebijakan dan program yang terintegrasi jika ingin mencapai swasembada pangan. Kebijakan ini meliputi ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi pertanian.
Kementerian dan lembaga-lembaga di tingkat pusat dan daerah menurutnya juga harus dilibatkan dalam kebijakan dan program tersebut.
"Ekstensifikasi atau pembukaan lahan baru bisa dilakukan dengan skala yang terbatas supaya manageable (dapat dikelola dengan baik), untuk daerah-daerah yang memiliki kesesuaian tinggi agar pengembangan komoditas pertanian dapat dilakukan," kata Subejo.
Intensifikasi di Daerah Basis Produksi PanganIa juga menilai intensifikasi di daerah basis produksi pangan perlu segera dikerjakan. Saat ini, intensifikasi lahan basah masih kurang dari 200 persen. Dengan kata lain, lahan tersebut hanya ditanami kurang dari dua kali dalam satu tahun.
Peningkatan intensitas penanaman menurutnya bisa diperkuat dengan dukungan sistem irigasi yang baik. Ia meyakini, penerapannya memungkinkan penanaman dua hingga tiga kali tanam dalam setahun, terutama di daerah dengan ketersediaan air yang memadai.
Masalah Distribusi dan Harga JeblokMasalah distribusi logistik yang masih tidak merata juga membuat harga komoditas jadi jeblok usia panen raya. Ia menyarankan agar pemerintah mengembangkan sistem informasi produksi dan distribusi pangan, termasuk hortikultura, yang melibatkan multi-stakeholders.
Sistem informasi produksi dan distribusi pangan menurutnya akan menunjukkan data rinci jumlah, sebaran, dan distribusi produk pertanian.
"Dengan sistem informasi, peluang distribusi produk lebih merata sehingga stabilitas harga dapat terjamin," jelas Subejo.
Masalah Industri PengolahanIa juga menekankan RI butuh mendorong adanya industri pengolahan hasil panen yang melimpah. Dengan begitu, produk mentah bisa diproses dan diawetkan, sehingga nilai ekonominya tetap terjaga dan memadai.
Masalah Literasi Keuangan PetaniSubejo juga menyorot keterbatasan literasi finansial di kalangan petani. Ia menegaskan, masalah ini harus mendapat solusi segera karena petani sehari-hari berkutat dengan modal dan produksi
Ia menjelaskan, usaha tani butuh modal yang tidak sedikit, sedangkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pemerintah belum efektif bagi petani karena dianggap merepotkan dan kurang bermanfaat.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas Pertanian UGM ini mengatakan, integrasi pembiayaan sangat penting diberikan pada petani dengan sistem insentif bunga rendah. Contohnya lewat kredit BUMN, CSR korporasi, pembiayaan dari pemerintah daerah, atau pembiayaan dari Dana Desa.
"Pemerintah harus memberikan edukasi literasi pembiayaan pada para petani melalui kelompok tani atau tokoh-tokoh petani, serta mendekatkan layanan pembiayaan ke desa-desa," kata Subejo.
Masalah Literasi TeknologiKeterbatasan pemahaman teknologi di kalangan petani menurut Subejo juga membuat proses usaha tani menjadi kurang efektif. Hasil produksinya juga jadi tidak maksimal.
Ia mencontohkan, biaya produksi beras yang mencapai Rp 5.500/kg di Indonesia. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya produksi di Vietnam yang hanya Rp 2.900/kg.
Subejo menekankan, masalah sistem produksi pertanian yang berbiaya tinggi ini perlu dicarikan solusi strategis. Langkah-langkahnya perlu mampu meningkatkan efisiensi produksi pertanian.
Contohnya seperti meningkatkan dan mengorganisir skala usaha dan konsolidasi lahan, mekanisasi pertanian, penyuluhan pertanian, dan edukasi petani. Cara-cara ini menurutnya memungkinkan petani bisa konsisten menggunakan sumber daya dengan lebih efisien.
"Bisa juga dilakukan dengan mengintroduksi inovasi yang lebih efisien, misalnya budidaya tanaman hemat air dan hemat pupuk," jelasnya
Masalah Krisis ManajemenSubejo menilai masalah manajemen turut membuat kualitas dan kuantitas produksi pertanian sulit meningkat secara signifikan. Mayoritas petani di Indonesia mengandalkan lahannya untuk bertahan hidup. Hasil panen kerap digunakan untuk kebutuhan hidup harian, tetapi tidak disiapkan dengan matang untuk menggarap lahan di musim tanam berikutnya.
Di samping itu, petani belum melakukan farm record sehingga tata kelola pertaniannya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akibatnya, petani bisa kesulitan mengantisipasi risiko produksi.
Soal tantangan ini, Subejo berpendapat, butuh adanya pengembangan kelembagaan petani yang kuat untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing petani.
Ia menilai diversifikasi produk juga perlu diperhitungkan agar hasil pertaniannya juga meliputi produk olahan dan sekunder, tidak hanya bahan mentah.
Potensi agrowisata menurutnya juga perlu dipertimbangkan agar menambah sumber pendapatan petani.
"Akan lebih baik lagi jika dikombinasi dengan jasa seperti agro wisata sebagai produk tersier, pastinya bisa meningkatkan sumber pendapatan petani pada masa-masa mendatang," ucapnya.
Ia menggarisbawahi, kebijakan Pemerintah RI untuk mengimpor beras dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri tidak tepat. Butuh solusi nyata yang merespons masalah ini dari akarnya.
Subejo mengatakan, kebijakan impor beras nyatanya bukan solusi jangka panjang, hanya bersifat teknis, dan tidak menjawab akar masalah krisis pangan.
Video Prabowo: Saya Bertekad untuk Swasembada Pangan